Senin, 01 April 2013

telaah FIqh, wakalah, sulhu, dhaman, dan kafalah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat berdiri sendiri, tetapi selalu mebutuhkan bantuan orang lain, baik untuk memenuhi kepentingannya sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.
Setiap manusia pada dasarnya saling membutuhkan bantuan dari sesamanya dalam berbagai pekerjaan yang dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupannya, dalam arti manusia akan selalu membutuhkan pertolongan dari orang lain. Dalam agama Islam pada hal tolong-menolong sudah ada aturannya yaitu tolong-menolong dalam hal kebaikan.
Islam merupakan agama yang lengkap dengan segala perbuatannya, baik yang berhubungan dengan sesama manusia maupun yang berhubungan dengan Sang pencipta-Nya yaitu Allah SWT. sejalan dengan itu, hukum Islam disyariatkan untuk mengatur segala perbuatan dan tingkah laku manusia di muka bumi dalam rangka mencari ridha Allah SWT, sehingga semua urusan manusia diatur dengan ketentuan hukum yang jelas dan pasti. Ketentuan syara’ yang berkenaan dengan hak-hak adami manusia itu harus dilaksanakan dengan baik dan bertanggungjawab.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, yang menjadi fokus pembahasan penulis dalam makalah ini adalah mengenai wakalah, sulhu, dhaman, dan kafalah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat wakalah?
2.      Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat sulhu?
3.      Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat dhaman?
4.      Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat kafalah?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui dan memahami pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat wakalah.
2.      Mengetahui dan memahami pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat sulhu.
3.      Mengetahui dan memahami pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat dhaman.
4.      Mengetahui dan memahami pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat kafalah.
















BAB II
PEMBAHASAN
WAKALAH, SULHU, DHAMAN, DAN KAFALAH
A.    Wakalah
1.    Pengertian dan Hukum Wakalah
Wakalah menurut bahasa berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Menurut istilah, wakalah adalah permintaan perwakilan oleh seorang kepada orang lain yang bisa menggantikan dirinya dalam hal-hal yang diperbolehkan untuk diwakilkan, seperti jual beli.
Pengertian wakalah menurut istilah para ulama berbeda-beda, antara lain sebagai berikut:
a.    Malikiyah berpendapat bahwa wakalah adalah seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.
b.    Hanafiyah berpendapat wakalah adalah seseorang menempati diri orang lain dalam tasarruf (pengelolaan).
c.    Imam Taqy ad-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini berpendapat bahwa wakalah adalah seseorang yang menyerahkan hartanya untuk dikelolanya yang ada penggantinya kepada orang lain  supaya menjaganya ketika hidupnya.
Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa wakalah adalah penyerahan diri seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.
Adapun dasar hukum wakalah adalah firman Allah SWT dalam QS an-Nisa: 35
..... (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& ......  
Artinya:         ... Maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan....

2.    Rukun Wakalah
a.    Ada yang mewakilkan dan wakil.
b.    Ada sesuatu yang diwakilkan.
c.    Ada lafal yang menunjukkan rida mewakilkan sesuatu dan wakil menerimanya.
3.     Syarat-Syarat Wakalah
a.    Orang yang mewakilkan adalah orang yang sah menurut hukum.
b.    Pekerjaan yang diwakilkan harus jelas.
c.    Tidak boleh mewakilkan dalam hal ibadah karena ibadah menuntut dikerjakan secara badaniyah dan dilakukan sendiri (seperti shalat, puasa, dan membaca ayat Al-Qur’an).

4.    Berakhirnya Akad Wakalah
Akad wakalah akan berakhir apabila terdapat hal-hal berikut:
a.    Salah seorang yang berakad hilang akalnya.
b.    Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud.
c.    Salah seorang dari yang berakad meninggal.
d.   Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil.
e.    Keluarnya orang yang mewakilkan dari status pemilikan.
5.    Hikmah Wakalah
Hikmah yang diperoleh dari wakalah adalah sebagai berikut:
a.    Mengajarkan prinsip tolong-menolong antara satu dengan yang lainnya untuk tujuan kebaikan.
b.    Mengajarkan kepada manusia untuk merenungi bahwa hidup ini tidak sempurna.
c.    Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu sehingga mengurangi pengangguran.
B.     Sulhu
Sulhu merupakan akad perjanjian untuk menghilangkan rasa dendam, permusuhan, atau pembantahan
1.    Pengertian dan hukum sulhu
As-sulhu menurut bahasa Arab, bermakna memutus pertengkaran, perselisihan, atau perdamaian.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa sulhu adalah akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan.
Dasar hukum sulhu terdapat pada QS al-Hujurat: 9
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( ...(الحجرات: ٩)  
9. dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
2.    Rukun Sulhu
a.    Musalih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad perdamaian untuk menghilangkan permusuhan atau sengketa.
b.    Musalih anhu, yaitu persoalan-persoalan yang diperselisihkan atau dipersengketakan.
c.    Musalih alaih, yaitu hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan.
d.   Sigat ijab dan kabul antara dua pihak yang melakukan akad perdamaian.
3.    Syarat Sulhu
Syarat sulhu diklasifikasikan dalam dua hal yaitu yang menyangkut subjek dan objek perdamaian.

a.    Menyangkut Subjek (pihak yang mengadakan perjanjian)
Subjek sulhu harus orang yang cakap dalam bertindak menurut hukum, yakni orang dewasa. Disamping itu, orang yang bersulhu harus memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
b.    Menyangkut objek perdamaian
1)   Berbentuk harta
2)   Dapat diketahui dengan jelas
C.    Dhaman
Dhaman adalah menanggung utang orang yang berutang. Dasar hukum diperbolehkannya dhaman adalah QS Yusuf: 72
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ  
72. penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".

1.    Rukun Dhaman
a.    Yang menanggung diisyaratkan sudah balig
b.    Yang berpiutang diketahui oleh yang menanggung
c.    Yang berutang
d.   Utang barang diketahui
e.    Lafal diisyaratkan berupa jaminan
2.    Syarat Dhaman
a.    Penanggung harus mengenal orang yang ditanggung.
b.    Jumlah utang yang ditanggung harus sudah resmi dan tetap.
c.    Jumlah yang ditanggung sudah diketahui.
d.   Penanggung harus orang yang ahli dalam penggunaan uang atau harta.

D.    Kafalah
1.    Pengertian dan dasar hukum kafalah
Kafalah termasuk jenis daman, tetapi lebih khusus pada tanggungan badan. Jadi, kafalah adalah orang yang diperbolehkan bertindak berfungsi menunaikan hak pengadilan.
Dasar hukum kafalah QS Yusuf: 66
tA$s% ô`s9 ¼ã&s#Åöé& öNà6yètB 4Ó®Lym Èbqè?÷sè? $Z)ÏOöqtB šÆÏiB «!$# ÓÍ_¨Yè?ù'tFs9 ÿ¾ÏmÎ/ HwÎ) br& xÞ$ptä öNä3Î/ ( !$£Jn=sù çnöqs?#uä óOßgs)ÏOöqtB tA$s% ª!$# 4n?tã $tB ãAqà)tR ×@Ï.ur ÇÏÏÈ  
66. Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". tatkala mereka memberikan janji mereka, Maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)".

Menurut mazhab Hanafi, rukun kafalah adalah ijab dan kabul. Sedangkan menurut para ulama lainnya rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut:
a.    Dhamin atau Kafil adalah orang yang menjamin. Syarat orang yang menjamin adalah balig dan berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya, dan dilakukan dengan kehendak sendiri.
b.    Madhmun lah yaitu orang yang berpiutang. Syaratnya yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin.
c.    Madhmun anhu yaitu orang yang berutang.
d.   Madhmun bih yaitu utang. Syaratnya dapat diketahui dan tetap keadaannya.
e.    Lafal menjamin
2.    Macam-macam kafalah
a.    Kafalah dengan jiwa yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada apa yang ia janjikan tanggungan.
b.    Kafalah dengan harta yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh penjamin dengan pembayaran berupa harta.
3.    Pelaksanaan kafalah
Kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu:
a.    Munjaz adalah tanggungan yang ditunaikan seketika.
b.    Mu’allaq yaitu menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu. Seperti orang berkata.”jika kamu mengutangkan pada anakku maka aku yang akan membayarnya”.
c.    Mu’aqqat yaitu tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu. Seperti ucapan seseorang “apabila ditagih pada bulan Ramadhan maka aku yang menanggung pembayaran utangmu,.[1]
E.     Telaah Materi
Dalam buku fiqh MA kelas X, menerangkan tentang wakalah, sulhu, dhaman, dan kafalah. Sebagai seorang siswa tentunya harus mengetahui tentang materi tersebut agar mereka bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam materi ini juga siswa diajarkan untuk saling tolong-menolong sebagaimana yang terdapat pada hikmah dari melaksanakan wakalah, shulhu, dhaman, dan kafalah. Dalam buku fiqh MA ini siswa diharapkan kompeten dalam mengaplikasikan apa-apa yang terdapat pada materi ini di dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis selaku penelaah buku fiqh MA kelas X ini berpendapat bahwa materi yang terdapat dalam buku paket fiqh kelas X MA ini sudah relevan dengan kehidupan siswa, dan cukup jelas sehingga memudahkan siswa untuk memahaminya khususnya siswa kelas X MA. Namun mengenai materi dhaman dan kafalah itu menurut beberapa referensi yang penulis baca disebutkan bahwa antara dhaman dan kafalah itu sama saja, sedangkan di dalam buku paket itu dibedakan padahal isinya sama. Jadi menurut penulis lebih baik materi tersebut digabung saja agar dapat menghemat waktu lagi.
Selanjutnya penulis mencoba menambahkan mengenai macam-macam shulhu, dijelaskan dalam buku fiqh syafi’iyah oleh Idris Ahmad bahwa shulhu dibagi menjadi empat bagian yaitu:
a.    Perdamaian antara muslimin dengan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu, secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.
b.    Perdamaian antara kepala negara (imam/khalifah) dengan pemberontak yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam negara yang harus ditaati.
c.    Perdamaian antar suami istri, yaitu membuat perjanjian aturan-aturan pembagian nafkah, masalah durhaka serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
d.   Perdamaian dalam muamalat, yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalat.[2]
Dhaman dari segi bahasa berarti tangungan atau jaminan. Sedangkan menurut istilah adalah jaminan yang diberikan oleh seseorang tentang pekerjaan, barang, atau pembayaran hutang yang dijanjikannya kepada orang yang memerlukan.[3]
Pada pembahasan kafalah di sini penulis menambahkan tentang pengertian dan pembayaran kafalah. Kafalah menurut bahasa artinya menggabungkan, jaminan, beban, dan tanggungan. Menurut istilah kafalah adalah transaksi yang menggabungkan dua tanggungan untuk memenuhi kewajiban baik berupa utang, uang, barang, pekerjaan, maupun badan.
Mengenai pembayaran wakalah yaitu jika penjamin telah melaksanakan kewajibannya dengan membayar utang orang yang ia jamin maka si penjamin boleh meminta kembali kepada orang ia jamin apabila pembayaran itu dilakukan berdasarkan izinnya. Alasannya, karena si penjamin telah mengeluarkan harta untuk kepentingan yang bermanfaat bagi orang yang dijamin. Dalam hal ini keempat imam mazhab sepakat. Namun mereka berbeda pendapat jika pembayaran yang dilakukan penjamin tanpa seizin orang yang dijamin sedangkan penjamin sudah terlanjur membayar.
Menurut syafi’i dan Abu Hanifah bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa izin darinya hukumnya sunnah. Penjamin tidak berhak untuk minta rugi kepada orang yang ia jamin. Tetapi menurut Maliki penjamin berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa penjamin tidak berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin atas apa yang telah ia bayarkan baik dengan izin orang yang atau tidak.
Jika yang dijamin tidak ada penjamin tetap berkewajiban menjamin. Ia tidak dapat mengelak dari kafalah kecuali dengan membayar atau orang yang berpiutang menyatakan bebas untuk penjamin dari utang yang dijamin.[4]



BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Wakalah menurut bahasa berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Menurut istilah, wakalah adalah permintaan perwakilan oleh seorang kepada orang lain yang bisa menggantikan dirinya dalam hal-hal yang diperbolehkan untuk diwakilkan, seperti jual beli.
As-sulhu menurut bahasa Arab, bermakna memutus pertengkaran, perselisihan, atau perdamaian. Dapat kita pahami bahwa sulhu adalah akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan.
Dhaman dari segi bahasa berarti tangungan atau jaminan. Sedangkan menurut istilah adalah jaminan yang diberikan oleh seseorang tentang pekerjaan, barang, atau pembayaran hutang yang dijanjikannya kepada orang yang memerlukan.
Kafalah menurut bahasa artinya menggabungkan, jaminan, beban, dan tanggungan. Menurut istilah kafalah adalah transaksi yang menggabungkan dua tanggungan untuk memenuhi kewajiban baik berupa utang, uang, barang, pekerjaan, maupun badan.
Dapat disimpulkan lagi bahwa wakalah, sulhu, dhaman, dan kafalah itu dalam Islam diperbolehkan, sebab dari empat unsur materi tersebut tersirat hikmah untuk menjadikan manusia saling tolong-menolong terhadap sesamanya.






DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abdur Rahman, dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010.
Qosim, M. Rizal, Pengamalan Fikih, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2002.
http://materi-siswa.blogspot.com/2012/05/dhaman.html


[1] Qosim, M. Rizal, Pengamalan Fikih, Solo, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008, 143-153
[2] Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah,Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2002. 176
[4] Ghazaly, Abdur Rahman, dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010. 209-210.